Senin, 29 November 2010

Kebudayaan Indonesia

Kebudayaan Nasional adalah kebudayaan yang diakui sebagai identitas nasional. Definisi kebudayaan nasional menurut TAP MPR No.II tahun 1998, yakni:
Kebudayaan nasional yang berlandaskan Pancasila adalah perwujudan cipta, karya dan karsa bangsa Indonesia dan merupakan keseluruhan daya upaya manusia Indonesia untuk mengembangkan harkat dan martabat sebagai bangsa, serta diarahkan untuk memberikan wawasan dan makna pada pembangunan nasional dalam segenap bidang kehidupan bangsa. Dengan demikian Pembangunan Nasional merupakan pembangunan yang berbudaya.Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Wujud, Arti dan Puncak-Puncak Kebudayaan Lama dan Asli bai Masyarakat Pendukukungnya, Semarang: P&K, 199
kebudayaan nasional dalam pandangan Ki Hajar Dewantara adalah “puncak-puncak dari kebudayaan daerah”. Kutipan pernyataan ini merujuk pada paham kesatuan makin dimantapkan, sehingga ketunggalikaan makin lebih dirasakan daripada kebhinekaan. Wujudnya berupa negara kesatuan, ekonomi nasional, hukum nasional, serta bahasa nasional. Definisi yang diberikan oleh Koentjaraningrat dapat dilihat dari peryataannya: “yang khas dan bermutu dari suku bangsa mana pun asalnya, asal bisa mengidentifikasikan diri dan menimbulkan rasa bangga, itulah kebudayaan nasional”. Pernyataan ini merujuk pada puncak-puncak kebudayaan daerah dan kebudayaan suku bangsa yang bisa menimbulkan rasa bangga bagi orang Indonesia jika ditampilkan untuk mewakili identitas bersama.Nunus Supriadi, “Kebudayaan Daerah dan Kebudayaan Nasional”
Pernyataan yang tertera pada GBHN tersebut merupakan penjabaran dari UUD 1945 Pasal 32. Dewasa ini tokoh-tokoh kebudayaan Indonesia sedang mempersoalkan eksistensi kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional terkait dihapuskannya tiga kalimat penjelasan pada pasal 32 dan munculnya ayat yang baru. Mereka mempersoalkan adanya kemungkinan perpecahan oleh kebudayaan daerah jika batasan mengenai kebudayaan nasional tidak dijelaskan secara gamblang.
Sebelum di amandemen, UUD 1945 menggunakan dua istilah untuk mengidentifikasi kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional. Kebudayaan bangsa, ialah kebudayaan-kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagi puncak-puncak di daerah-daerah di seluruh Indonesia, sedangkan kebudayaan nasional sendiri dipahami sebagai kebudayaan angsa yang sudah berada pada posisi yang memiliki makna bagi seluruh bangsa Indonesia. Dalam kebudayaan nasional terdapat unsur pemersatu dari Banga Indonesia yang sudah sadar dan menglami persebaran secara nasional. Di dalamnya terdapat unsur kebudayaan bangsa dan unsur kebudayaan asing, serta unsur kreasi baru atau hasil invensi nasional. Direktorat Sejarah dan Nilai Tradsional, Kongres Kebudayaan 1991: Kebudayaan Nasional Kini dan di Masa Depan,

Wujud kebudayaan daerah di Indonesia

Kebudayaan daerah tercermin dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat di seluruh daerah di Indonesia. Setiap saerah memilki ciri khas kebudayaan yang berbeda.

Rumah adat

Rumah gadang, rumah adat sumatera barat

Tarian

Tarian Pakarena di pulau Selayar di masa Hindia Belanda
Tari jaipong, Tarian daerah Jawa Barat

Lagu

Musik

Alat musik

Gamelan

Gambar

Patung

Pakaian

Suara

  • Jawa: Sinden.
  • Sumatra: Tukang cerita.
  • Talibun : (Sibolga, Sumatera Utara)

Sastra/tulisan

Kebudayaan Modern Khas Indonesia

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya_Indonesia

Kebudayaan Barat & Timur

KEBUDAYAAN TIMUR DAN BARAT

Perdebatan terhadap budaya tradisional dan moderen dalam pergumulan kebudayaan Barat dan Timur pada era yang disebut globalisasi tidak habis-habisnya hingga hari ini, bahkan tidak mungkian pernah selesai. Kebudayaan Barat kadang-kadang dipandang sebagai budaya haram yang menghancurkan nilai-nilai kebudayaan tradisional yang dianggap luhur.

Kebudayaan moderen yang menumbuhkan kebudayaan baru yang disebut budaya populer sepertinya telah mampu menembus celah-celah kehidupan berbudaya bangsa timur, termasuk kebudayaan Minangkabau. Untuk melakukan perlawan terhadap kebudayaan Barat tersebut, para kelompok antisisme budaya Barat sering mencanangkan kampanye terhadap pengaruh budaya barat terhadap perusakan moral anak bangsa. Kebudayaan Barat, dalam hal seni moderen (musik, tari, teater, filem, dsb) seakan-akan titik awal perosakan kebudayaan timur.

Hadirnya era informasi dan komunikasi global, kebudayaan tradisional sepertinya mendapat perlawanan yang ketat melawan dirinya sendiri untuk bertahan atau berkembang. Kesenian yang berkembang hari ini telah banyak mengalami pergeseran fungsi. Kebudayaan tradisional yang semula melekat dengan adat dan agama cendrung dikembangkan menjadi kebudayaan tontonan, dan bahkan sebagai propaganda. Ikatan-ikatan estetis antara elemen-elemen tradisional dengan kebudayaan baru menuju budaya populer yang moderen bagaikan peristiwa perlawanan budaya yang sulit diantisipasi.

Akibat daripada perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang bermula dari Barat juga telah menembus sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia dalam mempermudah hubungan manusia dengan dunia luar. Manusia dapat menikamti berbagai peristiwa yang terjadi melalui media komunikasi dan informamsi yang berteknologi moderen yang disebut dunia maya, seperti televisi, internet, video-video melalui media player dan sebagainya.



Merujuk kepada peristiwa budaya masa lampau yang disebut zaman kebudayaan sasaran dan surau di Minangkabau yang kehidupan masyarakatnya sangat didominasi oleh kebudayaan lokal. Teknologi informasi sebagaimana adanya hari ini belum lagi dikenal pada masa itu. Teknologi informasi masyarakat lebih banyak kepada tradisi lisan antara satu orang dengan orang lainnya, atau menggunakan simbol-simbol tertentu yang memberikan makna tertentu pula kepada masyarakat.

Kebudayaan yang berkembang di sasaran berupa kesenian dan adat istiadat telah mampu mengajak generasi mudanya kepada masyarakat yang beradat, tahu nan ampek. Manakala pendidikan surau dan kebudayaan yang bernuansa islami telah mampu mengantarkan anak bangsa Minangkabau menjadi orang nan sabana orang yang berbudi mulia, dan taat beragama. Artinya pendidikan sasaran dan surau telah mampu menghasilkan generasi yang berintelektual kebangsaan. Pendidikan sasaran dan pendidikan surau bagaikan aur dengan tebing, sandar menyandar keduanya dalam mengisi keperibadian generasi penerus bangsa. Kenapa generasi sekarang sekarang sering mengagungkan masa lampau itu? Benarkah pendidikan Barat telah meluluhlantakkan budaya sasaran dan meruntuhkan surau, sebagaimana prediksi A.A Navis dalam robohnya surau kami?

Kedua pertanyaan di atas perlu dijawab oleh setiap masyarakat Minangkabau. Percaya atau tidak, kedua institusi tradisional tersebut (sasaran dan surau) dalam perkembangan kebudayaan moderen yang dipengaruhi budaya Barat telah mengalami suatu dilema kebudayaan yang sarat dengan pertentangan antar generasi (generasi tua dengan muda, pemerhati budaya tradisional dengan aliran modernisme). Dalam hai ini, peristiwa sejarah kebudayaan Minangkabau masa lampau dan sekarang adalah sesuatu yang selalu saja menarik diperbincangkan oleh ilmuan.

Ketika runtuhnya rezim Orde Baru, dan bergulirnya reformasi, ditindak lanjuti pula dengan otonomi daerah merupakan sesuatu yang menarik dalam perjalanan kebudayaan Indonesia, khususnya Minangkabau. Otonomi daerah membuka ruang kepada daerah-darah mengatur dirinya sendiri demi kemajuan daerah. Daerah disarankan untuk mebali kepada nilai-nilai lama yang masih relevan dengan perkembangan kebudayaan masa kini. Daerah dianjurkan pula untuk memikirkan bagaimana kesejahteraan rakyat meningkat, mengentaskan kemiskinan dan sebagainya.

Bagi masyarakat Sumatera Barat, yang lebih populer dengan etnik Minangkabau memanfaatkan fenomena demikian untuk membuka kembali lembaran sejarah lama yang dianggap berjaya melahirkan generasi bangsa yang intelektual. Masyarakatnya yang hidup dalam kelompok nagari-nagari bagaikan sebuah negara kecil yang mampu menghidupi diri sendiri untuk mencapai kesejahteraan dan mencerdaskan anak nagarinya. Kebudayaan anak nagari hidup mekar sebagai media pendidikan dan hiburan masyarakat satu-satunya. Kesenian anak nagari adalah primadona tontonan yang ampuh dalam membawa generasi yang berbudaya. Pendidikan surau telah mempu membawa generasi muda yang bermoral dan berbudi mulia dengan landasan Al-quran dan sunnah rasul. Dalam hal ini memegang teguh falsafah adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah.

Menyikapi fenomena masa lampau itu, bagi pemerintah daerah Sumatera Barat, otonomi daerah adalah ruang yang amat penting dipergunakan untuk kembali membuka tabir lama yang pernah cemerlang, istilah yang lebih populer adalah ”kembali ke nagari dan kembali ke surau” untuk membangkit batang tarandam, setelah puluhan tahun terbenam dalam konsep sentralistik.

Kembali kepada pertentangan kebudayaan Barat dan Timur, sebagian masyarakat seakan-akan memilih sikap alergi terhadap kebudayaan Barat yang merajalela membawa generasi muda ini kepada suatu pola kehidupan budaya moderen. Kecemerlangan masa lampau bagaikan tergilas habis oleh perang kebudayaan. Konsep kebudayaan yang kuat membilas kebudayaan lemah. Kebudayaan barat tidak hanya masuk kepada kebuyaan lokal tradisional untuk menyesuaikan diri, melainkan mempengaruhi kebudayaan tempatan untuk berubah menuju budaya populer yang moderen.

Persoalan sekarang, mungkinkah kebudayaan Barat itu kita halangi masuk ke daerah-daerah yang notabene tradisional dalam perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang marak dikampanyekan. Tentu amat sulit menjawabnya. Kembali ke nagari dan kembali ke surau bukan berarti kita kembali mamatikan lampu listrik dan kembali kepada lampu promak, suluh daun kelapa pergi ke surau dan menonton pertunjukan kesenian anak nagari, dan sebagainya. Melainkan, mengambil roh kecemerlangan budaya masa lampau untuk mengantisipasi berkembangnya budaya barat yang moderen.

Menyikapi fenomena di atas, secara kontinyu kebudayaan daerah seharusnya dikembangkan untuk mempertahankan hak hidupnya dalam gejolak persentuhan budaya antara Barat dan Timur, antara tradisional dengan moderen. Perubahan bentuk dan fungsi suatu kebudayaan seharusnya mampu membawa nilai-nilai yang masih dianggap relevan bertahan atau dikembangkan.

Oleh karena itu, usaha untuk “mereaktualisasikan” kebudayaan tradisional untuk membuat aktif atau mengembangkan nilai-nilai hidup yang masih relevan dan hayati dengan kreatif sangat penting. Dalam percaturan kebudayaan Barat dan Timur, kebudayaan tradisional kalaupun tidak dapat dipertahankan sebagaimana adanya, paling tidak menutup kemungkinan dikembangkan sesuai dengan raso jo pareso dalam tatanan alur dan patut. Artinya, antara kebudayaan Barat yang dianggap moderen dan Timur yang dianggap tradisional tidak perlu menjadi perbincangan atau dipertentangkan saja, akan tetapi perlu sikap kepiawaian dalam mempertahankan atau menggabungkan dalam bentuk peristiwa akulturasi kebudayaan. Bagaimanapun juga, proses perubahan kebudayaan akibat persentuhan kebudayaan akan tetap terjadi, baik disebabkan faktor internal maupun eksternal.

Oleh karena itu, sikap pemerintah Sumatera Barat yang mencanangkan kembali ke nagari dan kembali ke surau adalah suatu ruang yang tepat untuk membangun kembali budaya lama yang masih relevan, dan dikembangkan dalam masyarakat menuju budaya moderen. Kebudayaan dan kesenian bernuansa Islam yang semula berkembang di surau-surau sepatutnya dapat dikembangkan dengan membawa misi keagamaan. Kesenian anak nagari yang hidup dan berkembang di sasaran juga kembali bangkit dengan membawa misi adat istiadat Minangkabau.

Persoalan berikutnya adalah, sudah sejauh mana pelaksanaan otonomi daerah dalam konsep kembali ke nagari dan kembali ke surau relevan dilaksanakan hingga hari ini. Siapakah yang bertanggungjawab untuk menjawab probelema kebudayaan Minangkabau yang terebar di nagari-nagari. Kemudian, sudah sejauh mana peranan dinas pariwisata seni dan budaya dalam menjawab tantangan kebudayaan. Pertanyaan berikutnya, sudah sejauh mana pula lembaga-lembaga kesenian melakukan kiprahnya dalam pembangunan seni budaya ranah bundo. Sudah pernahkan semuanya ini duduk seamparan membincangkan strategi pelestarian, pengembangan kebudayaan daerah menatap pergulatan budaya Barat yang moderen

Pertumbuhan Penduduk Dunia & Indonesia

Pertumbuhan Penduduk
Keterpurukan sejumlah bangsa di berbagai belahan Bumi membuat prihatin badan PBB. Berbagai
masalah, seperti kemiskinan, pendidikan rendah, kematian, dan kasus HIV/AIDS, secara keseluruhan
mengancam keberlangsungan hidup bangsa-bangsa yang mengalami keterpurukan itu.
Maka, pada awal abad 21 badan PBB mengumpulkan kepala pemerintahan untuk menandatangani
pembangunan milenium (MDGs) di New York. Tujuan MDGs adalah upaya penyelamatan bangsa (save
nations).
Namun, kesuksesan capaian MDGs itu dapat menimbulkan efek samping, yakni meningkatnya
pertumbuhan penduduk. Ini terjadi karena tujuan-tujuan (goals) yang tercantum dalam MDGs hanya
menitikberatkan pada upaya kelangsungan hidup, tanpa diikuti pengendalian penduduk.
Pertumbuhan penduduk
Dari delapan tujuan MDGs, tiga tujuan terkait dengan kelangsungan hidup, yakni penurunan angka
kematian ibu dan anak, memerangi HIV/AIDS, dan memerangi malaria. Lima tujuan lain bertalian secara
tak langsung terhadap kelangsungan hidup, yakni penurunan angka kemiskinan, peningkatan pendidikan
dasar, pencapaian kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, pemeliharaan kelestarian
lingkungan, serta kerja sama global.
Dampak dari faktor langsung dan tak langsung itu adalah menurunnya angka kematian penduduk, yang
berarti meningkatnya level kelangsungan hidup penduduk. Namun, jika penurunan angka kematian tidak
diimbangi penurunan angka kelahiran, akan terjadi peningkatan pertumbuhan penduduk.
Fenomena demikian mengingatkan kita pada pengalaman pertumbuhan penduduk global pada era 1650-
an hingga kini, yang kerap disebut sebagai era modernisasi.
Pertumbuhan penduduk berlangsung cepat. Pada tahun 1650-1750, pertumbuhan penduduk global
hanya 0,4 persen per tahun, atau perlu waktu 175 tahun untuk menjadikan jumlah penduduk menjadi dua
kali lipat (doubling population).
Seiring dengan semakin menurunnya angka kematian, fenomena doubling population kian cepat
berlangsung. Diperkirakan, pada 1950-1980 dengan pertumbuhan penduduk dunia pada kisaran 2
persen, doubling population memakan waktu hanya sekitar 40 tahun (United Nations, Table 2-1, 1973,
Table 1, 1983).
Diperkirakan penduduk dunia pada tahun 2024 akan menjadi 9,4 miliar jiwa dan seterusnya akan berlipat
menjadi 18,8 miliar jiwa pada 2065. Perkiraan ini didasarkan atas pertumbuhan penduduk yang tetap
pada kisaran 2 persen (United Nations, Table 2-1, 1973, Table 1, 1983). Ini sekaligus mengisyaratkan,
jika target MDGs terwujud tahun 2015—yang berarti pertumbuhan penduduk kian tinggi—doubling
population akan berlangsung makin cepat.
Patut dicatat, sebelum tahun 1650 diperlukan waktu jutaan tahun untuk mencapai setengah miliar
penduduk dunia (Collins, 1982). Saat itu pertumbuhan penduduk mengalami pasang surut karena
pengaruh iklim, cadangan pangan, dan serangan penyakit. Angka kematian dan kelahiran pada masa itu
nyaris sama tingginya. Namun, setelah era 1650, sektor pertanian dan industri mengalami kemajuan
pesat, pengaruh iklim dan penyakit kian dapat dikendalikan, sehingga mengakibatkan menurunnya angka
kematian. Celakanya, penurunan angka kematian itu tidak segera diimbangi oleh penurunan angka
kelahiran sehingga peningkatan pertumbuhan penduduk tak terelakkan.
Pengendalian penduduk
Mencermati kondisi demikian, sepatutnya upaya pencapaian tujuan-tujuan MDGs dilakukan seiring upaya
penurunan angka kelahiran, antara lain melalui intensifikasi program Keluarga Berencana (KB). Untuk
kondisi Indonesia, upaya itu amat penting dilakukan mengingat program KB di Tanah Air pada era
reformasi tidak seintensif pada era Orde Baru. Kurang terfasilitasinya penduduk melakukan pembatasan
kelahiran akan mengakibatkan peningkatan pertumbuhan penduduk dan peningkatan itu umumnya
berasal dari kelahiran yang tidak diinginkan (unwanted child).
Diperlukan peran pemerintah dalam program KB di Tanah Air mengingat kondisi sosial ekonomi
masyarakat yang masih rendah. Berbeda dengan negara-negara maju yang telah menerapkan KB
mandiri. Ini terjadi karena faktor modernisasi berakibat membaiknya kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Faktor modernisasi itu juga menyebabkan perubahan perilaku masyarakat dalam menilai anak (child
value). Sejumlah faktor pendorong perubahan perilaku itu antara lain menurunnya angka kematian bayi
dan balita, peran ekonomi anak, dan meningkatnya status perempuan (Yaukey, 1985).
Aktualitas perubahan perilaku itu diwujudkan dengan pendewasaan usia kawin, tidak melangsungkan
perkawinan, tidak melahirkan anak, dan melakukan pembatasan kelahiran. Perilaku demikian ternyata
memberi kontribusi besar pada proses transisi demografi di negara-negara maju, khususnya di Eropa.
Transisi demografi merupakan penurunan angka kelahiran mengiringi penurunan angka kematian yang
terjadi lebih dulu sehingga mencapai penduduk stabil. Umumnya, pada fase awal transisi angka kematian
tinggi dan berfluktuasi bergantung pada iklim, pangan, dan penyakit, sedangkan angka kelahiran stabil
tinggi mengakibatkan angka pertumbuhan penduduk berfluktuasi, tetapi rendah.
Proses transisi mulai terjadi pada fase kedua, saat angka kematian mulai mengalami penurunan, tetapi
angka kelahiran tetap tinggi sehingga terjadi peningkatan pertumbuhan penduduk. Pada fase terakhir
angka kelahiran mulai menurun mengikuti angka kematian. Pada fase ini angka kematian mencapai
posisi stabil rendah, begitu pula angka kelahiran tetapi angkanya sedikit berfluktuasi sehingga
pertumbuhan penduduk sedikit berfluktuasi tetapi sangat rendah.
Mencermati pola transisi demografi itu, tampaknya MDGs dapat menjadi momentum mengikuti pola yang
hampir sama, minimal hingga fase kedua. Adapun untuk mencapai fase ketiga bergantung pada
kesuksesan program KB. Maka, atas dasar itu kita berharap agar pemerintah dalam melaksanakan
pembangunan milenium jangan sampai membiarkan program KB berjalan di tempat.