Doha (AFP/ANTARA) - Perundingan PBB untuk menghentikan
pemanasan global memasuki hari terakhir di Doha pada Jumat, dengan poin
utama masih dibicarakan: memperluas pembatasan emisi gas rumah kaca dan
pendanaan bagi negara-negara miskin.
Para delegasi sedang bersiap untuk menghadapi perundingan terakhir
yang panjang untuk menemukan konsensus mengenai cara-cara interim guna
mengendalikan perubahan iklim, dan memuluskan jalan menuju kesepakatan
baru yang harus mulai diberlakukan pada 2020.
Sejumlah LSM dan delegasi menyatakan keputusasaan pada laju negosiasi
tersebut, yang dimulai pada 26 November dan bertepatan dengan
peringatan ilmiah baru bahwa Bumi menghadapi masa depan yang penuh
bencana akibat kondisi cuaca ekstrem yang lebih sering terjadi.
“Para negosiator politik perlu menyadari dengan segera bahwa iklim
tidak dapat dinegosiasikan,” ujar CEO Greenpeace Kumi Naidoo kepada AFP
pada jam-jam terakhir pembicaraan tersebut.
“Sejumlah negosiasi keluar dari sentuhan dengan realitas ilmiah. Ini menyangkut keberlangsungan hidup manusia.”
Pendanaan untuk membantu negara-negara miskin menangani dampak
pemanasan global dan mengonversi sumber-sumber energi ramah lingkungan
menjadi titik kunci pembicaraan antara para negosiator dari hampir 200
negara.
Negara-negara maju ditekan untuk menunjukkan bagaimana mereka berniat
menjaga janji untuk meningkatkan pendanaan iklim bagi negara-negara
miskin menjadi 100 miliar dolar Amerika (sekitar Rp962,7 triliun) per
tahun pada 2020, meningkat dari total 30 miliar dolar Amerika (sekitar
Rp288,8 triliun) pada 2010-2012.
Negara-negara berkembang mengatakan bahwa mereka membutuhkan
setidaknya 60 miliar dolar Amerika (sekitar Rp577,6 triliun) antara saat
ini dan 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar